Minggu, 20 November 2016

ANALISIS KEBIJAKAN DALAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar  Belakang
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari masalah kesehatan. Masalah kesehatan
yang dihadapi tentunya harus memiliki manajemen yang baik terkhusus kebijakan
kesehatan. Dimana Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal, menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dan dalam hal ini, pemerintah turut campur tangan di bawahi oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Selaku pembuat kebijakan kesehatan Kementrian Kesehatan perlu melakukan analisis terhadap setiap kebijakan kesehatan yang dibuat supaya derajat kesehatan di Indonesia lebih terarah untuk mencapai Indonesia Sehat.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat,. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation).
. Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai “Analisis Kebijakan Dalam Manajemen Pelayanan Kesehatan”.


2.1 Rumusan Masalah
1.      Apa itu Analisis Kebijakan ?
2.      Bagaimana Tahapan Dalam Analisis Kebijakan ?
3.      Bgaimana Proses Dalam Analisis Kebijakan ?
4.      Bagaimana Bentuk Analisis Kebijakan ?
5.      Bagaimana Kekuasaan dan Proses Analisis Kebijakan ?
6.      Bagaimana Dimensi Kekuasaan Dalam Proses Kebijakan   ?
7.      Apa itu Sistem Politik ?
8.      Bagaimana Proses Pengambilan Keputusan Dalam Analisis Kebijakan ?
9.      Bagaimana Implementasi Kebijakan ?
10.  Bagaimana Efektivitas Implementasi Kebijakan ?
11.  Bagaimana Evaluasi Kebijakan ?

3.1 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas kelompok Organisasi Manajemen Kesehatan. Selain itu juga, agar para pembaca sekalian dapat menambah pengetahuan dalam lingkup Organisasi Manajemen Kesehatan khususnya mengenai Analisis Kebijakan Dalam Manajemen Pelayanan Kesehatan.








BAB II
ISI

2.1    DEFINISI ANALISIS KEBIJAKAN
Analisis kebijakan adalah salah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi pembuat kebijakan dan pembuat keputusan (E. S. Quade). Adapun Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan dalam proses politik. (Dunn W. N.,2003).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan mengkombinasikan dan mntransformasikan substansi dan metode dari beberapa disiplin, dan lebih jauh lagi, menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu.
Analisis kebijakan mencakup dua aspek sebagai berikut.
1.        Determinasi kebijakan, yaitu analisis yang berkaitan dengancara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat;
2.        Isi kebijakan, mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan tentang perkembangan kebijakan tersebut dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya, atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan.
Analisis kebijakan kesehatan mempertimbangkan aspek – aspek berikut: (1) kemiskinan; (2) keadilan; (3) pembangunan; (4) bantuan dan sektor kesehatan; dan (5) privatisasi dalam sektor kesehatan.
Analisis kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses pengkajian yang meliputi lima komponen informasi kebijakan (policy informational components) yang di transformasikan dari satu ke lainnya dengan menggunakan lima prosedur analisis kebijakan (policy – analytic procedures).


2.2    TAHAPAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Kebijakan publik terdiri atas berbagai jenis, sebagai berikut.
1.        Kebijakan distributif: pemberian pelayanan atau manfaat pelayanan yang ditujukan pada segmen tertentu di masyarakat;
2.        Kebijakan regulatif: pemberlakuan pembatasan dan larangan pada perilaku ditingkat individu maupun kelompok;
3.        Kebijakan self regulatory: dalam pengertian mengedepankan kepentingan sendiri;
4.        Kebijakan redistributif: usaha pemerintah untuk mengubah atau mengatur kembali distribusi pendapatan, kekayaan, kepemilikan, atau hak di antara berbagai kelompok di masyarakat.

2.3    PROSES DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Dalam menganalisis sebuah kebijakan terdapat sejumlah proses atau tahapan yang harus dilalui, antara lain:
1.      Merumuskan masalah kebijakan;
2.      Peramalan masa depan kebijakan;
3.      Rekomendasi aksi-aksi kebijakan;
4.      Pemantauan hasil kebijakan; dan
5.      Evaluasi kinerja kebijakan.
Perumusan masalah kebijakan, terkait dengan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan, peramalan adalah informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari alternatif kebijakan, sedangkan preskripsi adalah informasi mengenai nilai atau kegunan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Deskripsi meliputi informasi konsekuensi di masa sekarang dan masa lalu dari alternatif kebijakan, sedangkan evaluasi merupakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah (Dunn W. N.,2003).


Tabel 8.1 Struktur Masalah Kebijakan
Elemen
Struktur Masalah
Sederhana
Agak Sederhana
Rumit
Pengambil keputusan
Satu atau beberapa
Satu atau beberapa
Banyak
Alternatif
Terbatas
Terbatas
Tak terbatas
Kegunaan (Nilai)
Konsensus
Konsensus
konflik
Hasil
Pasti atau beresiko
Tidak pasti
Tidak diketahui
Probabilitas
Dapat dihitung
Tidak dapat dihitung
Tidak dapat dihitung

Peramalan masa depan kebijakan, merupakan prosedurmembuat informasi aktual tentang situasi sosial di masa depan atas informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Ada tiga bentuk model peramalan, yaitu proyeksi, prediksi, da perkiraan, yang di dasarkan pada ekstrapolasi, teoritis, dan penilaian informatif secara berturut – turut. Peramalan proyeksi menggunakan logika induktif dan logika deduktif untuk peramalan prediksi, sedangkan logika retroduktif bagi peramalan perkiraan  (Dunn W. N.,2003; Nugroho R.,2009).
Rekomendasi kebijakan, mengharuskan analisis kebijakan menentukan alternatif yang terbaik dan alasannya karena hal tersebut terkait dengan masalah etika dan moral. Dalam memutuskan alternatif kebijakan, salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah rasionalitas. Selain itu, ada juga model inkremental. Pendekatan untuk membuat rekomendasi dapat dibuat dengan beberapa pilihan: (1) public choice versus privat choice; (2) penawaran versus permintaan; (3) pilihan publik murni; (4) analisis cost benefit; (5) analisis effectiveness (Nugroho R.,2009).
Pemantauan hasil kebijakan,  merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dri kebijakan publik. Hasil kebijakan dibedakan antara keluaran (output), yaitu produk layanan yang diterima kelompok sasaran kebijakan, dan dampak (impact) yaitu perubahan perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan. Sementara evaluasi kinerja kebijakan, Dunn mengembangkan tiga pendekatan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis. Evaluasi semu menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dipercaya mengenai hasil kebijakan tanpa berusaha mempertanyakan manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut pada sasaran kebijakan. Evaluasi formal  mengevaluasi hasil berdasarkan tujuan program yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan; sedangkan evaluasi keputusan teoritis menggunakan metode deskriptif untuk untuk menghasilkan informasi yang valid dan dipercaya mengenai hasil kebijakan yang dinilai oleh berbagai macam cara secara eksplisit (Nugroho R.,2009).

2.4    BENTUK ANALISIS KEBIJAKAN
Secara umum, ada dua bentuk analisis kebijakan yaitu analysis of policy (Retrospektif) dan analysis for policy (prospektif). Analisis untuk kebijakan bersifat prospektif adalah produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan itu dimulai dan diimplementasikan, bertujuan untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan  guna mengimplementasikan sebuah kebijakan. Dengan kata lain, analisis prospektif berupaya untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi dan mengharuskan pemikiran strategi untuk masa depan ( Dunn W., 2003; Buse K. dkk., 2006).
Analisis kebijakan prospektif adalah analisis untuk kebijakan yang diharapkan terjadi di masa akan datang. Analisis tipe ini memberikan informasi rinci tentang formulasi kebijakan (evaluasi formatif) atau mengantisipasi bagaimana kebijakan akan berjalan bila diterapkan (misalnya, bagaimana para pelaku lain akan memberikan respons terhadap perubahan-perubahan).
Analisis jenis ini biasanya akan dilakukan atau disponsori oleh partai-partai yang memang tertarik untuk menilai prospek-prospeknya dan mengelola perubahan kebijakan politik yang ada dengan mematuhi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Namun analisis ini kadang-kadang mengakibatkan terbengkalainya keputusan tertentu karena citra politik yang buruk.
Analisis retrospektif adalah analisis yang berhubungan dengan waktu lampau dan deskriptif. Analisis yang satu ini lebih melihat kebelakang dan merenungkan kembali mengapa dan bagaimana kebijakan menemukan bentuknya sehingga agenda dan muatannya bias mencapai tujuan-tujuan tertentu (evaluasi sumatif). Misalnya, hasil-hasil yang mengecewakan dan reformasi kesehatan di beberapa Negara mendesak World Bank untuk melakukan analisis mengenai proses-proses reformasi di masa lalu untuk mendiagnosis dimensi-dimensi politis masalah.
Konteks
Health policy Triangle terdiri atas isi (content), konteks (context), proses (process), dan pelaku (actors) (posisinya ditengah) (Gambar 8.2). Keempat aspek tersebut saling terkait atau saling berhubungan (interrelationship) satu sama lain dalam memengaruhi kebijakan (Buse K. dkk.,2006)
Pelaku
Individu
Kelompok
Organisasi
Proses
Isi
 





Gambar 8.2 Policy Analysis Triangle

2.5    KEKUASAAN DAN PROSES KEBIJAKAN
Secara umum, kekuasaan berarti kemampuan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan guna melakukan sesuatu. Distribusi kekuasaan tergantung dari isu kebijakan, signifikasi kebijakan, dan sistem politik. Kekuasaan mempunyai tiga dimensi:
1.      Kekuasaan sebagai pengambilan keputusan;
2.      Kekuasaan bukan sebagai pengambilan keputusan; dan
3.      Kekuasaan sebagai control berpikir.

2.6    DIMENSI KEKUASAAN DALAM PROSES KEBIJAKAN
Ada tiga dimensi dari kekuasaan yang masing-masing memiliki perbedaan sudut pandang dalam memegang kekuasaan dan terlibat dalam poses kebijakan. ( Buse K. dkk., 2006)
1.      Pluralis.
Pluralis menggambarkan pemikiran dominan terhadap teori distribusi kekuasaan dalam demokrasi liberal. Selain itu, tidak ada kelompok individu yang memiliki kekuasaan absolut dan negara menjadi pengambil keputusan bagi yang bersaing dalam perkembangan kebijakan.
      Ciri dari pluralism adalah: (1) bersaing secara terbuka dalam pemilihan di antara sejumlah partai politik; (2) kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri ke dalam golongan dan partai politik yang berpengaruh; (3) kemampuan golongan yang berpengaruh untuk menyebarkan pandangan mereka secara bebas; (4) Negara dapat mencoba untuk memengaruhi semua golongan yang berpengaruh secara terbuka; (5) Negara bertindak sebagai wasit netral dan hakim di antara tuntutan persaingan; (6) meskipun ada kelompok elit dalam masyarakat namun tidak ada yang mendominasi setiap waktu.
      Kebijakan kesehatan timbul di antara kelompok yang terorganisasi dalam jumlah besar untuk melindungi kepentingan khusus anggotanya.
2.      Public Choice.
Masyarakat berasal dari kelompok-kelompok yang bersaing dan bertujuan mengejar kepentingan sendiri. Negara juga merupakan kelompok berkepentingan yang mempunyai kekuasaan lebih pada proes kebijakan dalam mengejar kepentingan yang menjalankannya, serta merupakan pejabat pilihan masyarakat dan pegawai pemerintah.
3.      Elitisme.
Kebijakan didominasi oleh minoritas orang-orang yang mempunyai hak-hak istimewa yang memberi kesan bahwa kebijakan publik mencerminkan nilai-nilai dari kepentingan golongan elit dan kaum ningrat, bukan “masyarakat” seperti yang dikatakan oleh penganut pluralisme. Penganut elitism modern berpendapat bahwa system politik modern yang dapat berbuat sesuai dengan demokrasis ideal seperti yang dikatakan oleh pluralis liberal.
      Para ahli teori elite beranggapan bahwa kekuasaan mungkin berdasarkan pada beragam sumber daya, seperti kekayaan, hubungan keluarga, keahlian teknik, atau jabatan. Bagi siapa saja anggota elit, kekuasaan tidak mungkin bergantung pada sumber saja.
      Kebijakan publik mencerminkan nilai (value) golongan elit yang dapat memanipulasi nila tersebut untuk mencerminkan diri mereka (Lukes, 1974). Nilai-nilai (values) golongan elit adalah konservatif. Ada kelompok yang berkepentingan, tetapi tidak semuanya memiliki kekuasaan dan akses yang sama dalam proses pembuatan kebijakan.
Easton melihat proses kebijakan sebagai input dan output. Model ini melihat proses kebijakan dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dilakukan mediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan), permintaan di dalam sistem politik dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan (Parsons W., 2008).
INPUT                             KEBIJAKAN                     OUTPUT
Persepsi/Identifikasi         Regulasi                                Aplikasi
Organisasi                         Distribusi                          Penguatan(reinforcement)
Permintaan                        Redistribusi                         Interprestasi
Dukungan                         Kapitalisasi                          Evaluasi
Apati                                 Kekuasaan etis                     Legitimasi
                                                                                      Modifikasi/penyesuaian
                                                                                Penarikan diri/pengingkaran

Gambar 8.3 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output

2.7    SISTEM POLITIK
Sistem politik akan mempengaruhi penentuan kebijakan kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik (termasuk kebijakan kesehatan). Klasifikasi sistem politik terkini telah ditambahkan dimensi yang lebih luas, yaitu seberapa terbuka sistem tersebut mampu menawarkan alternatif (liberal/otoriter). Berdasarkan kriteria tersebut dibedakan lima kelompok sistem politik sebagai berikut.

1.        Liberal democratic regimes.
Sistem ini di dibentuk oleh pemerintah dan dijalankan dengan institusi politik yang relatif stabil dengan mempertimbangkan peluang-peluang mekanisme sejumlah kelompok, kebijakan kesehatan sangat bervariasi, mulai dari orientasi pasar hingga tanggung jawab pemerintah.
2.        Egalitarian – Authoritarian.
Dicirikan oleh elit utama yang sangat tertutup, birokrasi otoriter, dan partisispasi pengelolaan negara secara umum. Perawatan kesehatan telah dianggarkan oleh negara dan merupakan hak asasi yang fundamental.
3.        Traditional – Inegalitarian.
Sistem ini diatur oleh monarki tradisional yang sangat sedikit memberi kesempatan untuk berpartisipasi. Kebijakan kesehatan sangat mengandalkan sektor swasta dengan penggunaan fasilitas oleh kalangan elit.
4.        Populis.
Sistem ini didasarkan atas partai politik tunggal atau dominan, nasionalisme tinggi, dan kepemimpinan yang cenderung bersifat personal. Partisipasi sangat diatur melalui kontrol gerakan massa oleh negara atau partai politik. Sistem politik populis menetapkan kesehatan untuk semua sebagai hak dasar.
5.        Authoritarian – Inegalitarian.
Sistem ini sering muncul sebagai reaksi terhadap populis dan rezim demokratis liberal. Keduanya diasosiasikan dengan pemerintahan militer dan terlibat dalam berbagai bentuk penindasan. Kebijakan kesehatannya merefleksikan kepentingan elit, biaya kesehatan pemerintah hanya untuk militer dan bagi masyarakat umum dikelola oleh pihak swasta.
Indonesia sendiri menganut sistem politik demokrasi dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Dalam perumusan suatu kebijakan, misalnya, UU Kesehatan no 36 tahun 2009, dirancang oleh eksekutif (pemerintah) yang kemudian dibahas dan disahkan oleh legislatif (DPR) melalui proses demokrasi menggunakan musyawarah untuk mufakat, kemudian eksekutif akan melaksanakan kebijakan yang telah disahkan. Namun demikian, hal ini belum sepenuhnya mencerminkan sistem demokrasi yang sebenarnya, karena rancangan kebijakan pada umumnya masih didominasi oleh eksekutif dan membuka peluang terjadinya tawar-menawar kepentingan di dalam penerapan dari kebijakan tersebut.

2.8    PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Ada tiga model pengambilan keputusan, yaitu model rasional, inkremental, dan mixed scanning.  Ketiga model proses pengambilan keputusan tersebut dapat digunakan untuk memahami implikasinya terhadap pengambilan kebijakan kesehatan (Buse K. Dkk., 2006).
Pendekatan rasional dalam pembuatan keputusan yang dipelopori oleh simon menyatakan bahwa apabila ingin memahami keputusan yang rill, kita harus mempertimbangkan sejauh mana keputusan itu adalah hasil dari proses yang nasional. Ide rasionalisme merupakan ide sentral dalam teori dan praktek pembuatan keputusan.simon mengatakan bahwa rasionalitas pada dasaranya adalah prosedural, bisa dilihat sebagai pemilihan tujuan dan tindakan yang bisa mencapai nilai atau tujuan yang diharapkan. Seorang individu bisa dikatakan bertindak rasional jika perilakunya mempunyai tujuan dan diarahkan untuk merealisasikan tujuan tersebut. Suatu organisasi dikatakan rasional jika berusaha mencapai atau memaksimalkan nilai-nilainya dalam situasitertentu. Di dunia nyata, aktor pembuat keputusan tidak menghadapai organisasi yang tnapa nilai, prsangka, kultur, sejarah, dan pengalaman. Oleh karena itu, pembuatan keputusan yang rasional harus dipahami dari konteks organisasional dan psikologis pengambilan keputusan tersebut, karena pembuat keputusan tidak bisa mengetahui hasil dari keputusan, karna tidak ada cara untuk membandingkan utilitas dari berbagai hasil maka dalam prakteknya, tidak mungkin ada hubungan langsung antara hasil keputusan dengan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan. Simon juga mengatakan bahwa ada dua tugas analisis keputusan, yaitu teori dan praktek. Pada level teoritis, analisis melibatkan studi batas-batas rasionalitas manusia dalam konteks oraganisasional, sedangkan dari segi praktik, menyangkut perancangan organisasional agar keputusan individu dapat mendekati rasionaltas semaksimal mungkin (Parsons W 2008).
Model inkremental pembuatan keputusan dikembangkan oleh Lindblom yang dikenal sebagai teori “muddling thought” berupa keberatan terhadap gagasan pembuatan keputusan sebagai proses “rasional”. Lindblom mengatakan “muddling thought” adalah metode atau ilmu yang mendukung pengabaian analisis kebijakan, dia menentang bahwa rasionalisme bisa diterapkan untuk persoalan kebijakan kompleks, oleh karena itu kegunaan pengetahuan dalam membuat keputusan yang lebih baik atau dalam memecahkan masalah sangat terbatas, sehingga perlu ada metode “irasinalsm” dari “muddling thought” (Parsons W 2008). Lindblom berpendapat bahwa “muddling thought”, menyediakan cara yang lebih baik untuk mengambil keputusan bijak, sehingga kebijakan yang merusak dapat dihindari melalui langka-langka inkrementalyang dampaknya dapat ditaksir sebelum mengambil keputusan berikutnya. Pembuat keputusan “muddle” berarti bahwa mereka mengambil langka-langka yang inkremental dari situasi awal dengan hanya membandingkan sejumlah kecil dari kemungkinan laternatif-alternatif yang tidak berbeda dengan status quo (Buse K, dkk.2006). ide inti dalam pendekatan inkremental adalah kepercayaan pada keahlian dalam memecahkan masalah yang kompleks dan tujuannya adalah untuk memberikan cara “muddling thought” yang baru dan maju. Ada tiga bentuk analisis inkremental: (1) analisis inkremental sederhana (2) analisis strategi (3) inkremental yang terputus-putus. Lindblom sangatpesimistis terhadap potensi pembelajaran sosial, partisipasi yang lebih besar dari warga negar dalam pembuatan keputusan, dan peningkatan keadilan sosial sebagai cra untuk memperbaiki mutu pembuatan keputusan (Parsons W 2008)
Etzioni tidak yakin bahwa model rasionalitas dan inkrementalitas bisa memuaskan dalammenejlaskan pembuatan keputusan secara realistis. Itzioni mengemukakan pendapat ketiga yang diyakininya memberikan model realistis yang jauh dari konservatisme padangan inkremental yang disebut dengan model “bauran pengamatan”. Bauran pengamatan mereduksi aspek yang tidak realistis dalam rasionalisme dengan cara membatasi diri pada detail yang dibutuhkan dalam keputusan fundamental dan membantu mengatasi kecenderungan konservatif inkrementalisme dengan mengeksploralternatif jangkapanjang. Model mixed scanning membuat dualisme tersebut menjadi eksplisit dengan mengkobinasikan (1) proses pembuatan kebijakan fundamental dan high order yang menentukan arah dasar (2) proses inkremental yang disiapkan untuk keputusan fundamental dan untuk melaksanakannya setelah keputusan itu tercapai. Bauran pengamatan ini tergnatung pada diferensiasi keputusan yang tergolong fundamental dan yang inkremental. Menurut etzioni, kunci dari mixed scanning adalah fleksibilitas keputusan sesuai dengan perubahan dan ketidakpastian lingkungan. Kemampuan atau kapasitas untuk mengamati harus diletakkan dalam konteks karakter inkremental dari demokrasi liberal yang memerlukan pembentukan konsensus. Pendekatan mixed scanning merupakan “is” sekaligus “ought”: pendekatan ini adalah deskripsi tentang realitas strategi pembuatan keputusan untuk membuat keputusan yang lebih baik (Parsons W., 2008).

2.9    IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Implementasi kebijakan merupakan sebuah proses politik oleh pemerintah yang berkuasa dan kompleksitas sistem. DeLeon (1999) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai apa yang terjadi antara ekspektasi kebijakan dan hasil kebijakan. Untuk mengantisipasi jarak antara ekspektasi kebijakan dan realitanya, pengambil kebijakan harus mengambil strategi untuk pengimplementasiannya, dengan mengandung aspek finansial, manajerial dan teknis kebijakan secara eksplisit, dan mengantisipasi resistensi, serta dukungan dari semua aktor yang berperan dalam subsistem, baik di dalam maupun di luar pemerintahan itu sendiri.
Secara teoretis ada tiga model terkait implementasi kebijakan (Buse K. dkk., 2006):
1.        Top-down.
Pendekatan top-down menekankan pada hubungan antara keputusan dengan pencapaian, perumusan dengan implementasi, dan potensi hierarki dengan pembatasan pada pelaksana untuk mencapai tujuan legal yang didefinisikan dalam kebijakan. Para pendukung top-down pada dasarnya bekerja dalam suatu kerangka yang berfokus pada keputusan dan kekuasaan, serta potensi pembuat keputusan untuk menimbulkan perubahan di dalam masyarakat diangap sebagai sebuah masalah dari pengembangan model kontrol dan pembelajaran yang efektif. Preferensi model top-down adalah pada tingkatan, hierarki, kontrol, dan pembatasan. Terdapat enam syarat yang musti ada untuk implementasi yang efektif dari tujuan kebijakan yang telah dinyatakan secara legal: (Parsons W., 2008, Buse K. dkk., 2006).
a.       Tujuan yang jelas dan konsisten secara logis.
b.      Teori kausal yang memadai, serta memastikan agar kebijakan tersebut mengandung teori yang akurat tentang cara melahirkan perubahan.
c.       Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk meningkatkan compliance dari pihak-pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan yang menjadi sasaran kebijakan.
d.      Pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen.
e.       Dukungan dari kelompok kepentingan dan penguasa di tingkat legislatif dan eksekutif.
f.       Tidak ada perubahan kondisi sosial ekonomi yang melemahkan dukungan kelompok dan penguasa, atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.
2.        Bottom-up.
Model bottom-up menyatakan bahwa implementasi adalah sebuah proses pembuatan kebijakan dan (kemungkinan) pemberdayaan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai sasaran dari keputusan. Pendekatan bottom-up didasarkan pada signifikansi hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan dengan pembatasan hierarki formal dalam kondisi tersebut. Model bottom-up mempunyai preferensi yang lebih memilih ruang, jaringan, atau pasar (Parsons W., 2008).
3.        Principal agent theory.
Pendekatan principal agent theory berada di dalam pemerintahan yang modern, pengambil keputusan harus mendelegasikan tanggung jawab akan kebijakannya kepada staffnya atau agen yang lain, agar tidak terjadi kesalahan. Pendekatan ini dipengaruhi oleh: (1) sifat dari masalah kebijakan tersebut; (2) konteks masalah; (3) mesin organisasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan (Buse K. dkk., 2006).

2.10     EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Efektivitas implementasi akan bervariasi di antara berbagai tipe dan isu kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan relatif tidak sulit apabila kebijakannya bersifat distributif, kebijakan regulatifnya bersifat moderat, dan kebijakan redistributifnya rendah. Berbagai area kebijakan mempunyai pola hubungan yang berbeda-beda, yang berarti bahwa dalam area redistributif terdapat lebih banyak tawar-menawar dan politisasi ketimbang di area distributif, yang mungkin ada tekanan kontrol yang besar.
Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Carter dkk. (1984) melibatkan empat tipe kontrol yaitu: (1) koordinasi sepanjang waktu; (2) koordinasi pada waktu tertentu; (3) detail logistik dan penjadwalan; serta (4) penjagaan dan pemeliharaan batasan struktural. Pendekatan sistem menekankan pentingnya “teamwork” bagi keberhasilan implementasi (Parsons W., 2008).

2.11     EVALUASI KEBIJAKAN
Dunn W. N. (2003) mengembangkan tiga pendekatan dalam evaluasi kebijakan yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoretis. Evaluasi semu adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan tanpa berusaha mempertanyakan manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut pada sasaran kebijakan. Evaluasi semu berasumsi bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang terbukti sendiri atau tidak kontroversial. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, namun mengevaluasi hasil tersebut berdasarkan tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan. Evaluasi formal berasumsi bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai adalah tujuan dan target yang diumumkan secara formal. Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai hasil kebijakan yang dinilai oleh berbagai macam cara secara eksplisit, yaitu brainstorming, analisis argumentasi, analisis Delphi kebijakan, dan analisis-survei-pemakai.
BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
Dari definisinya Analisis Kebijakan adalah salah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi pembuat kebijakan dan pembuat keputusan. Analisis kebijakan kesehatan mempertimbangkan aspek – aspek berikut: (1) kemiskinan; (2) keadilan; (3) pembangunan; (4) bantuan dan sektor kesehatan; dan (5) privatisasi dalam sektor kesehatan. Ada pula tahapan dalam analisis kebijakan yaitu: Kebijakan distributif, Kebijakan regulatif, Kebijakan self regulator, Kebijakan redistributif. Dalam menganalisis sebuah kebijakan terdapat sejumlah proses atau tahapan yang harus dilalui, antara lain: Merumuskan masalah kebijakan; Peramalan masa depan kebijakan; Rekomendasi aksi-aksi kebijakan; Pemantauan hasil kebijakan; dan Evaluasi kinerja kebijakan. Ada dua bentuk analisis kebijakan yaitu analysis of policy (Retrospektif) dan analysis for policy (prospektif).

3.2 SARAN
            Untuk mendapatkan penyelesaian dalam masalah kesehatan, disarankan dilakukan dahulu analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian, dapat memberikan keputusan yang fokus pada masalah yang akan diselesaikan. Namun Seorang analis haruslah mempunyai kemampuan yang memadai dan komprehensif, meliputi penguasaan yang luas tentang bentuk teori, konsep, dan madel analisis, kemampuan untuk memilih model yang sesuai, dan benar-benar mahami berbagai aspek kebijakan publik dan faktor yang terkait dengan kebijakan publik tersebut.







DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. 1999. Analisis Kebijakan. Diterjemahkan Drs. Samodra Wibawa, MA dkk. Edisi ke 2. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar